Minas|Mediatorpost.com, 22 April 2025 – Perayaan Paskah Persekutuan Gereja-gereja Pentakosta Indonesia (PGPI) Kabupaten Siak yang diselenggarakan di Kecamatan Minas pada hari Selasa, 22 April 2025, berlangsung penuh sukacita dan semangat spiritual. Ibadah yang dipimpin oleh Pdt. Obaja Mendrofa, S.Th. itu dihadiri oleh lebih dari 400 jiwa dan berlangsung dalam suasana penuh penyembahan dan kontemplasi.
Ketua panitia Paskah PGPI 2025, Pdt. L. Sinuhaji, bersama bendahara Pdt. Adin Sinaga dan sekretaris Pdt. Bronson Simatupang, berhasil mengoordinasikan rangkaian acara dengan baik. Kehadiran pengurus PGPI Kabupaten Siak turut memperkuat atmosfer persekutuan dalam semangat kesatuan gereja-gereja Pentakosta di wilayah ini.
Dalam khotbah yang disampaikan oleh Ketua PGPI Kabupaten Siak, Pdt. DR. (H.C.) Jesman Nainggolan, M. Th. digarisbawahi bahwa api Pentakosta yang menyala adalah salah satu ciri identitas orang percaya yang hidup dalam kuasa Roh Kudus. “Api itu tidak hanya melambangkan semangat rohani, tetapi juga respons aktif dalam menyenangkan hati Tuhan. Api yang menyala adalah gambaran dari kehidupan Kristen yang berkomitmen penuh terhadap kehendak Allah,” tegas beliau.
Lebih lanjut, khotbah tersebut menggiring umat untuk merenungkan korban Kristus di kayu salib sebagai inti dari Paskah. Kematian Kristus bukan sekadar peristiwa sejarah, melainkan tindakan penebusan ilahi yang membawa keselamatan bagi semua orang yang percaya. Dalam kerangka ini, tujuh perkataan Yesus di atas salib menjadi sorotan utama sebagai bentuk wahyu teologis yang kaya akan makna soteriologis, kristologis, dan eskatologis.
Refleksi Teologis atas Tujuh Perkataan Yesus di Kayu Salib
1. “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” (Luk. 23:34). Ini adalah wujud kasih rekonsiliatif Kristus, yang mengaktualisasikan kasih agape dengan memohonkan pengampunan bahkan bagi para algojo-Nya.
Implementasi:
Belajar mengampuni dengan tulus, bahkan kepada mereka yang menyakiti kita. Dalam dunia yang penuh konflik dan dendam, orang percaya dipanggil menjadi agen rekonsiliasi—mewujudkan kasih yang tidak membalas kejahatan dengan kejahatan (bdk. Roma 12:17-21).
2. “Sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus.” (Luk. 23:43). Suatu deklarasi bahwa keselamatan adalah anugerah, diterima oleh iman dan pertobatan, bukan perbuatan.
Implementasi:
Keselamatan bukan karena prestasi religius, tetapi karena iman kepada Kristus. Ini menantang budaya meritokrasi rohani dan mengarahkan umat untuk hidup dalam pertobatan sejati, bukan dalam kepalsuan religiusitas.
3. “Ibu, inilah anakmu!. Inilah ibumu!” (Yoh. 19:26–27). Ini menegaskan pentingnya komunitas iman sebagai keluarga rohani, bahkan dalam momen penderitaan.
Implementasi:
Menumbuhkan relasi kasih dan kepedulian dalam komunitas iman. Gereja bukan hanya tempat ibadah, tapi keluarga rohani yang saling menopang, khususnya bagi mereka yang menderita, kesepian, dan kehilangan.
4. “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mat. 27:46; Mrk. 15:34)
Seruan ini memperlihatkan penderitaan rohani Kristus dalam menanggung murka Allah akibat dosa manusia.
Implementasi:
Mengakui bahwa pergumulan rohani adalah nyata, dan kita diperbolehkan mengungkapkan rasa kehilangan arah atau “ditinggalkan” dalam doa. Namun, tetap percaya bahwa Allah tidak pernah benar-benar meninggalkan umat-Nya (Ibr. 13:5).
5. “Aku haus.” (Yoh. 19:28)
Merupakan pengakuan atas penderitaan jasmani yang nyata, sekaligus penggenapan nubuat (Mzm. 69:22), yang menegaskan kemanusiaan Yesus yang utuh.
Implementasi:
Mengingatkan kita akan penderitaan yang nyata di dunia ini—kemiskinan, kelaparan, dan ketidakadilan. Kasih Kristus ditunjukkan dalam kepedulian sosial dan tindakan nyata kepada yang menderita (Mat. 25:35).
6. “Sudah selesai.” (Yoh. 19:30)
Dalam kata Yunani tetelestai, terkandung makna penyelesaian sempurna karya penebusan. Ini adalah klimaks kemenangan atas dosa.
Implementasi:
Menjalani hidup dengan kesadaran bahwa karya keselamatan telah diselesaikan. Umat Kristen dipanggil bukan untuk menyelamatkan diri, tetapi untuk hidup dalam respons penuh syukur—melayani dengan setia dan menjadi saksi Injil.
7. “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku.” (Luk. 23:46)
Ungkapan totalitas penyerahan diri kepada Allah, dalam iman dan ketaatan yang paripurna.
Implementasi:
Menyerahkan hidup sepenuhnya kepada Tuhan dalam setiap musim kehidupan—baik dalam kelimpahan maupun kesukaran. Ketaatan total dan kepercayaan yang teguh menjadi bentuk spiritualitas yang sejati di tengah dunia yang penuh ketidakpastian.
Melalui perenungan atas perkataan-perkataan tersebut, umat diajak untuk kembali menghayati kedalaman kasih Kristus dan serius dalam hidup iman. “Nyawa-Nya telah diberikan untuk kita. Maka pertanyaannya: mengapa kita belum sungguh mencintai Tuhan?” demikian ajakan reflektif dalam khotbah tersebut.
Sebagai penutup, umat diingatkan akan tujuan hidup yang telah diubahkan oleh kematian dan kebangkitan Kristus sebagaimana tertulis dalam 2 Korintus 5:15, “… supaya mereka yang hidup, tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Dia, yang telah mati dan telah dibangkitkan untuk mereka.”
Acara Paskah berlangsung dengan aman dan tertib, didampingi oleh aparat kepolisian setempat, dan memberikan penyegaran rohani bagi seluruh jemaat yang hadir. Momentum ini menjadi dorongan nyata bagi gereja-gereja di Kabupaten Siak untuk menyalakan kembali api iman, menyambut Paskah bukan hanya sebagai perayaan liturgis, melainkan komitmen eksistensial kepada Sang Juruselamat.
Penulis : Samuel Pasaribu