PELALAWAN|Mediatorpost.com – Ketidakadilan hukum bukan hanya kisah lama, ia kini hidup dan nyata di kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN). Pernyataan keras Ketua Ormas GRIB Jaya Kabupaten Pelalawan, Irfan Panjaitan, menjadi sirene yang membangunkan kita dari tidur panjang: ada mafia tanah yang menguasai ratusan hingga ribuan hektar, namun yang justru dikejar-kejar adalah rakyat kecil yang tak punya daya.
“Yang dikejar itu rakyat dengan 1-2 hektar, tapi yang ribuan hektar kok tak pernah disentuh?” kata Irfan Panjaitan.
Pertanyaan itu menggema keras dan menampar kesadaran publik. Ada yang salah, bahkan sangat salah, dalam sistem penegakan hukum dan tata kelola kawasan hutan kita hari ini.
Data yang diungkap GRIB Jaya bukan sekadar rumor penguasaan lahan ilegal oleh mafia mencapai 500, 800, bahkan ribuan hektar. Tapi ironisnya, aparat penertiban justru gencar menyasar warga yang hanya mencari ruang hidup di sela kebijakan negara yang lamban dan tumpang tindih.
Di balik “penertiban kawasan hutan,” ternyata tersimpan skenario yang janggal. Siapa yang sesungguhnya diuntungkan?
GRIB Jaya membongkar narasi usang yang selama ini menyudutkan warga pendatang. Nyatanya, masyarakat lokal justru terlibat dalam jual-beli lahan di TNTN. Pendatang hanya pembeli, bukan perusak. Maka, memukul rata semua warga sebagai pelanggar, adalah kebijakan yang tidak hanya salah arah, tapi juga tidak bermoral.
Irfan Panjaitan tegas
“Lindungi rakyat kecil, bukan malah menambah penderitaan mereka.” Pernyataan ini mengandung luka sekaligus harapan. Luka karena rakyat seperti selalu dijadikan tumbal atas nama aturan; harapan karena masih ada suara-suara lantang yang berani memperjuangkan keadilan di tengah dominasi kekuasaan.
Mengapa koridor perusahaan besar seperti PT RAPP dan Indah Kiat masih beroperasi di kawasan hutan? Bagaimana izin-izin itu bisa keluar? Di sisi lain, rakyat yang menanam kelapa sawit hanya beberapa hektar diusir dan ditakut-takuti. Inilah wajah standar ganda dalam pengelolaan kawasan hutan.
Lebih mengkhawatirkan lagi, Perpres Nomor 5 Tahun 2025 justru terkesan mengabaikan semangat UU Cipta Kerja yang memberi sedikit ruang keadilan bagi petani kecil. Bukannya memperkuat pasal 110A dan 110B, aturan baru itu justru mempercepat proses penggusuran.
Ketua GRIB Jaya benar regulasi jangan jadi alat kekuasaan untuk menekan yang lemah. Jika hukum hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas, maka bukan keadilan yang kita bangun, tapi tirani yang dibungkus legalitas.
Jika pemerintah serius menyelamatkan hutan, mulailah dari yang besar: mafia tanah, korporasi rakus, dan oknum pemberi izin. Barulah penertiban bisa disebut adil.
Pernyataan Irfan Panjaitan adalah cermin nurani rakyat. TNTN bukan hanya soal konservasi, tapi juga soal keadilan sosial. Jika negara ingin hadir, maka hadirlah bukan sebagai alat kekuasaan, tetapi sebagai pelindung bagi mereka yang paling membutuhkan: rakyat kecil yang hidup dari tanah, bukan memperdagangkannya.
“Kami akan terus berdiri di depan, bukan untuk melawan negara, tapi untuk menyadarkan bahwa keadilan harus menyentuh semua, bukan hanya yang punya kuasa.” **